Ayo gabung bersama

21 February 2009

Percaya atau Tidak tapi itu Kenyataannya ?


Perjalanan dari Pasaman Barat menuju Padang Senin, 16 Februari 2009 menuai pelajaran penting untuk menggerakan tangan, mencurahkan pemikiran, dan keinginan mendobrak keadaan yang seharusnya tidak terjadi apabila memang benar bahwa Sumatera Barat memegang falsafah “Adaik basandi Syarak dan syarak basandi kitabullah “, apalagi ditambah dengan simbol-simbol “Kembali ke Surau”.
Dalam perjalanan terlihat salah satu Mesjid di daerah Sintuk pinggir lintas jalan raya Kabupaten Pariaman, tepatnya jam menunjukan pukul 18.55 wib, terlihat mati tidak ada tanda-tanda kehidupan aktifitas peribadatan. Sekilas pertanyaan muncul kenapa kok tidak ada orang shalat berjamaah di Mesjid itu ?. Dan tentu banyak jawaban yang akan menjadi alasan kenapa mesjid tersebut tidak ada kegiatan shalat magrib berjamaah.
Kemudian pertanyaan yang agak serupa ditujukan pada daerah Pasaman Barat, maka sebagiannya akan dipaparkan kenyataannya!. Dalam salah satu media masa, koran terbitan sumbar pernah dilangsir (Penulis lupa apa media cetak nya, dan tanggal terbitnya.Red ). Bahwa Bupati Pasaman Barat merencanakan pembangunan Mesjid termegah di Pasaman Barat sebagai simbol daerah, yang pendanaannya langsung didanai oleh Pemerintah Daerah. Tentu kita bersyukur dan merasa bangga, disisi lain pemerintah mempunyai perhatian terhadap kebutuhan umat Islam di Pasaman Barat. Tapi jika kita lihat dari sudut yang berbeda dan dengan pertanyaan yang berbeda pula, Kenapa Pemerintah Daerah tidak membangun sumber daya manusianya yang akan mengisi mesjid dan Mushalla yang sudah ada?, apakah pelajaran dari salah satu mesjid Kabupaten Pariman belum cukup?, Mesjid berdiri tapi tidak berpenghuni dan sekilas nampak sebagai simbol semata.
Kalaulah boleh di hitung mesjid dan mushalla di Pasaman Barat tidak kurang dari ratusan buah banyaknya. Sekarang pertanyaan muncul kembali, bagaimana kondisi dan juga manusianya ?. Di daerah Kecamatan Kinali 1 buah Mushalla pinggir jalan raya kondisinya sangat mengenaskan, jangankan menghidupkan aktifitas shalat berjamaah, atap, cendela dan fisik lainnya mengalami kehancuran sehingga menjadi bangunan tua yang tak berhuni ditengah kitaran kelapa sawit dan jagung. Di Kecamatan Luhak nan Duo, Mesjid Berdampingan hanya dipisahkan oleh sungai kecil, dengan jarak lebih kurang 30 meter, namun kondisinya juga aktifitas ibadah lima waktu masih menghawatirkan. Bahkan pernah disalah satu mesjid di Kecamatan kinali, shalat jum’at tidak jadi dan dialihkan menjadi shalat biasa karna tidak ada khatib, desa lain dikecaman yang sama adzan dzuhur dikumandangkan, bahkan jorong yang ada dimushalla pada saat itu malah pergi dengan keretanya entah kemana, tidak ikut shalat berjamaah dimushalla. Di rambah adzan dzuhur dikumandangkan mula-mula siswa-siswa MAN beberapa orang berdatangan, namun diluar dugaan mereka datang sekedar mencuci muka dan setelah itu kembali kesekolah, padahal shalat sudah masuk. Di Plasma kasus yang berbeda, adzan dikumandangkan disalah satu mushalla di Blok E, sepertinya dianggap asing, sebagian warga dan anak-anak berdatangan untuk melihat sang muadzin, dengan penglihatan aneh, namun tidak bereaksi untuk ikut shalat berjamaah. Dan sekarang pertanyaan muncul kembali, siapa yang salah ?, dan apakah pembangunan mesjid sekedar akan dijadikan simbol ?, apakah ada jaminan tatkala mesjid dibangun nanti masyarakat langsung berbondong-bondong datang melaksanakan ibadah, sedangkan yang sudah ada saja mesjid dan mushalla tidak termanfaatkan bahkan seakan mati suri padahal Mesjid atau Mushalla ini adalah kebanggaan umat Islam.
Membangun kesadaran manusia pentingnya keberadaan Mesjid atau Mushalla adalah hal yang harus bagi masyarakat Pasaman Barat. Begitu pula fungsi mesjid dan mushalla, selain ibadah lima waktu juga dapat digunakan berbagai aktifitas lainnya. Inilah perbedaan keberadaan Mesjid atau mushalla sekarang dengan zaman dulu. Sekarang pola berfikir masyarakat mesjid atau mushalla hanya dijadikan tempat shalat dan ibadah-ibadah ritual lainnya tidak lebih dari itu,di masyarakat minang anak bujang dulu sebelum dia menikah tidurnya di surau, tidak hanya sekedar tidur tapi juga menimba ilmu agama selama mereka berada di surau. Tapi sekarang berbalik arah, masing-masing anak bujang sekarang sudah mempunyai kamar sendiri-sendiri, hal ini wajar apabila cara hidup dan penanaman agama anak sekarang jauh berbalik, toh ada itupun gemblengan yang langka dari orang tua yang masih kental dengan nilai-nilai agama atau disekolahkan di sekolah agama seperti pesantren dan lain sebagainya. Sehingganya wajar apabila kasus yang terungkap tadi ada, dan hal ini siapa yang kita salahkan ?. Begitu pula menggerakan atau menghidupkan keberadaan mesjid atau mushalla masih perlu digenjot, tentu tidak terlepas dari tanggung jawab masyarakat dan pemerintah yang ada didaerah ini. Seperti menggerakan wirid-wirid majlis ta’lim, wirid remaja bagi siswa/I, taman pendidikan alquran dan lainnya, walaupun hal ini sudah ada, namun keberadaannya belum teroptimalkan. Hal ini bukannya tidak mungkin apabila memang ada keseriusan, tentu pemerintah juga punya tanggung jawab mempromotori tidak hanya banyaknya keberadaan mesjid dan mushalla, tapi mengisinya jauh lebih penting, sehingga fungsi mesjid dan mushalla dapat berjalan dengan semestinya. “Adaik basandi syarak dan syarak basandi kitabullah “ akan sekedar tinggal dibibir tanpa arti apabila masyarakat tidak peduli dengan pentingnya keberadaan posisi Mesjid dan mushalla masa dahulu, sekarang dan yang akan datang.

07 February 2009

AIR BANGIS SATU POTENSI YANG TERLUPAKAN ?



Kemiskinan seolah menjadi harga mati bagi nelayan di Indonesia ( Kompas,Sabtu 28 mei 2005:39 ). Indonesia punya potensi devisa 82 miliar dollar AS dari laut tiap tahun yang dapat digunakan untuk melunasi utang negara, tetapi tidak dimanfaatkan. Al hasil, devisa tidak diraih dan empat juta nelayan tetap hidup miskin seperti sedia kala.
Dari sekian juta masyarakat nelayan yang disebutkan, masyarakat nelayan Air Bangis adalah salah satunya. Penghasilan nelayan kabupaten pasaman barat(Pasbar) masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan belum sanggup memenuhi kebutuhan keluarga masing-masing nelayan. Sehingga sampai sekarang,masyarakat pinggiran pantai daerah setempat masih tergolong sarang kemiskinan(Padang Ekspres,Kamis 22 Juni 2006:28). Walaupun terobosan-terobosan telah dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan pemberdayaan laut sebagai mata rantai kehidupan masyarakat seperti yang dilakukan Balai Pendidikan Pelatihan Perikanan (BPPP) Medan. Hal ini dilakukan sejak tahun 2004 yang lalu,tentu hal ini belum cukup. Belum lagi wilayah tangkapan ikan masyarakat juga dirampas oleh kapal-kapal asing sebagaimana yang dilangsir dalam (Republika,sabtu 16 Agustus 2003:9). Tutur salah satu nelayan “ Kami tidak kuat lagi,kami minta bantuan pemerintah,lima tahun terakhir saja kami sudah membakar 40 kapal nelayan asing”. Namun tragisnya kapal-kapal tersebut sering dilepaskan kembali. “Entah apa sebabnya,kami kurang tahu ,padahal mereka itu umumnya tidak punya paspor” tutur yudi. Sehingganya berakibat pendapatan hasil tangkapan ikan nelayan turun.
Daerah Air Bangis, yang berjarak sekitar 287 kilometer dari kota Padang, berada dipinggiran laut.Daerah yang mempunyai luas 670 kilometer persegi ini sejak dulu terkenal sebagai penghasil ikan di Sumatera Barat, karena mereka tinggal dipinggir pantai, mata pencarian yang paling utama adalah sebagai nelayan. Dari 12.500 penduduk Air Bangis 75 persen atau sekitar 10 ribu jiwa adalah nelayan. Dari berbagai kondisi tersebut tentu bila tidak menjadi perhatian serius pemerintah dan kita semua, bisa jadi kondisi akan tetap sama seperti sedia kala, dan bahkan akan berimbas pada akibat yang lebih parah. Hal ini sebagai mana yang diceritakan oleh salah seorang mahasiswi asal Air Bangis (Rozana Ismarika), bahwa beberapa waktu yang lalu di daerah ini tertangkap beberapa orang sedang menikmati barang haram (Narkoba), sisi lain cukup banyak juga anak-anak disini yang putus sekolah, beberapa faktor yang mendasari yakni bisa jadi karna faktor ekonomi keluarga dan perhatian pemerintah setempat yang belum serius untuk melihat masalah lebih gamblang di daerah Air Bangis ini.
Permasalahan-permasalan ini adalah tanggung jawab kita semua dan harus disikapi dengan cepat dan tepat. Pasalnya kehidupan ibarat sistem yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.Siklusnya, ekonomi masyarakat sangat mengenaskan,hal ini bisa jadi SDM dan Teknologi kendala utama, dan di kuatkan dengan perhatian pemerintah daerah yang belum serius,berimbas pada sosial ekonomi dan pendidikan baik keluarga maupun masyarakat, dan diperparah lagi dengan ketidak tegasan aparat terhadap baik kapal-kapal asing maupun kepada pihak perusak generasi dengan memberi ruang gerak lebar peredaran barang haram (Narkoba), sehingganya permasalahan seakan bertambah kompleks.

04 February 2009

Pendidikan agama non formal juga butuh diperhatikan


Taman pendidikan Alqur’an atau taman pendidikan seni Alqur’an adalah lembaga pendidikan yang ada di masyarakat non formal. Posisinya dirasa sangat perlu keberadaannya dalam mencetak generasi qur’ani. Hal ini sangat relevan dengan kondisi sekarang dimana pemerintah Sumatera Barat mencanangkan konsep “kembali ke surau”.
Wajar memang tatkala efek dari globalisasi telah merambah disemua kalangan,penanaman dan pemantapan pondasi aqidah sebagai dasar hidup mutlak harus, apabila generasi muda kita. Tentu mustahil “adat basandi syarak dan syarak basandi kitabullah”akan dapat menuai hasil apabila tidak adanya usaha dari kita untuk menjalankannya.
Pasaman Barat,gebrakan untuk mencanangkan pendidikan Alqur'an belum begitu tampak,walaupun ada namun belum begitu terasakan. Kemandulan selama ini masih menyelimuti generasi pemerhati pendidikan harus dihidupkan kembali. Sekarang pertanyaannya adalah kita ingin berfikir atau apakah kita akan memperhatikan kemunduran?. Pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan harus bertanggung jawab,begitu pula mahasiswa yang telah diakui keberadaannya sebagai “Agen of Change”. Gebrakan dan pemikiran ini sudah mulai digerakkan dalam kurun beberapa tahun yang lalu oleh masyarakat desa Sidomulyo,kecamatan Kinali,Pasaman Barat. Tidak kurang dari 125 santri yang aktif untuk mau menuntut ilmu Alqur'an dari berbagai jenjang pendidikan mulai dari TK,SD sampai SLTA, yang mengikuti pendidikan baik di mesjid,mushalla ataupun dirumah-rumah.
Agus Hendra (Mahasiswa Universitas Negeri Padang),yang telah terjun dalam taman pendidikan Alqur’an ini mempunyai target misi “Memberantas buta huruf baca Alqur'an di desa ini” dan misi pencerdasan ini akan dilanjutkan ke daerah yang lebih luas lagi di kecamatan Kinali dan pasaman barat khususnya.“Tidak semua mencontoh itu buruk “paparnya. Sistem pendidikan ini juga akan disesuaikan, dan programnya tidak jauh beda dengan kota Padang yang cukup sukses dalam pelaksanaannya, juga mempunyai nilai tersendiri dalam mencanangkan kembali ke surau.
Taman pendidikan alquran (TPA/TPSA) di pasaman barat sebenarnya di tiap-tiap desa baik di surau atau di rumah-rumah sebagian telah ada, namun yang perlu diseriuskan adalah masalah “Sistem pembinaannya yang belum terkoordinir secara baik”, yang perlu menjadi renungan adalah bagaimana kita akan mendapatkan hasil yang baik apabila prosesnya kurang begitu tetata secara baik. Untuk membangun pasaman barat jangan lupakn manusianya,apalagi generasi mudanya. Apabila kondisi ini dibiarkan,tunggu kehancuran.

Followers